Penulis: Sabpri Piliang – Wartawan Senior
Jakarta, Media-profesi.com – Sikap China yang condong di tengah, dalam konflik Timur Tengah. Mempermudah perannya menggantikan posisi Amerika Serikat (AS), sebagai tempat “wise guy” (orang bijak). China perlahan mendapat tempat di hati (Timur Tengah), sebagai solusi.
Sikap Israel yang keras, terus menggempur Jalur Gaza dan Lebanon. Ditambah jebolnya tiga pilar kekuatan pertahanan udara Israel oleh Hezbollah: “Iron Dome, Arrow, dan David’s Sling”. Membuat Israel kalap dan hilang kendali. Korban bergelimpangan.
Korban “random sampling” tak terelakan. Entah itu sipil, pihak yang bertikai langsung. Juga Pasukan penjaga perdamaian Lebanon (UNIFIL). Tanpa kecuali, dengan sengaja ikut jadi sasaran.
Lebih setahun sudah. “Haru biru”, penderitaan rakyat sipil tak terperikan. Terutama rakyat Palestina (Gaza), rakyat Lebanon, bahkan penduduk Israel di Utara (Haifa). Mengalami penderitaan, meninggalkan rumah karena tak ingin menjadi korban.
Siapa yang bisa menghentikan “Perang gila” ini? Semua telah dilanggar: Hukum Humaniter, HAM, Hukum Internasional, tatanan konvensional dan kesepakatan bersama lewat PBB (UNO).
Imbauan, pun diabaikan, lalu dilecehkan semena-mena, dan tidak dipatuhi. Wabah pelanggaran norma, menjadi hal lumrah. Dibiarkan oleh yang mestinya mampu menghentikan.
Dalam istilah Jakarta. “Lu mau apa”? ” Gue nggak takut”. Badan-badan PBB sampai ‘berbusa’ meneriakan jenis-jenis pelanggaran, tak didengar. Sanksi kepada ‘person-person’ yang dianggap terlibat pada kematian rakyat sipil, pun tidak ada artinya. Perang jalan terus. PBB seperti Bebek lumpuh (“lame Duck”) dalam konteks Israel vs Hamas & Hezbollah.
Penyelesaian konflik Timteng, sebut saja terbesar setelah Perang Yom Kippur (1973). Kali ini, seperti mengalami kebuntuan akut. Misi ‘ulang alik’: AS, Mesir, Qatar, untuk mencari penyelesaian (Juli-Agustus). Mulai dari Doha, lalu Kairo, buntu!
Sikap lunak AS terhadap Israel, menjadi kunci penyelesaian konflik yang telah menelan sekitar 45.000 jiwa (dari pihak Palestina, Israel, Lebanon). Perang menjadi sulit diakhiri. Timur Tengah putus asa.
China memanfaatkan momentum ini. Memfasilitasi “buka pintu”, pertemuan Iran-Arab Saudi, mengundang faksi-faksi Palestina ke Beijing, menjual pesawat tempur kepada Mesir.
China juga membuka 46 jenis perjanjian dagang dengan Arab Saudi dan negara Dewan Kerjasama Teluk (Desember 2022) di Riyadh (Arab Saudi). Presiden China Xi Jinping bertemu dengan pemimpin-pemimpin Arab, termasuk Raja Salman Bin Abdulaziz. AS tentu melihatnya ini sebagai miris.
Sesungguhnya, atas dukungan AS, Israel telah mendapatkan banyak ‘margin’ (revenue). Meminjam istilah ekonomi. Atas ‘supporting’ AS, Israel membuka hubungan diplomatik dan berdamai dengan Mesir yang dikenal dengan Perjanjian Camp David (1979). Lalu dengan Yordania (1994).
“Revenue” terbesar Israel atas peran AS, didapat dengan adanya “Perjanjian Abraham” (2020). Ini menjadi kesepakatan normalisasi kolektif terbesar dan paling sukses, untuk keuntungan Israel.
Traktat “Abraham”, mencakup kesepakatan normalisasi penuh Israel-Uni Emirat Arab (UEA), Israel-Bahrain, Israel-Maroko, juga Israel-Sudan.
Dengan begitu, Israel telah mengikat sebagian besar negara-negara Liga Arab. Konsekwensinya, di saat Israel berkonflik dengan Palestina, maka: Mesir, Yordania, UEA, Bahrain, Maroko, dan Sudan, tak boleh terlibat konfrontasi dengan cara apa pun.
Seandainya, tak ada peristiwa 7 Oktober 2023 (serangan Hamas), dengan sandi “Banjir Al Aqsa”, Arab Saudi sudah mulai didekati oleh AS untuk ikut berdamai dengan Israel. Arab Saudi menegaskan, “Kemerdekaan Palestina”, adalah syarat mutlak normalisasi hubungan diplomatik. Sama seperti satu negara Teluk lainnya (Oman).
Walaupun Oman telah membuka hubungan tidak resmi dengan Israel. Namun, syarat kemerdekaan Palestina adalah kunci (key word) untuk hubungan normalisasi penuh Israel-Oman. Ungkapan itu mengemuka, saat pertemuan PM Benyamin Netanyahu-Sultan Qaboos beberapa tahun lalu di Muskate.
Mesir, di tengah kekhawatiran negara-negara Arab atas konflik Palestina-Israel. Kini, tidak ingin terlalu mendekat kepada AS. Meskipun tetap erat, namun memiliki alternatif. Sebagai jaga-jaga, karena mayoritas rakyat negara-negara Liga Arab menginginkan Kemerdekaan Palestina.
Tak mungkin, Pemerintahan: UEA, Oman, Yordania, Arab Saudi, Mesir, Bahrain, Kuwait, Maroko, jalan sendiri dan mengabaikan kehendak rakyatnya.
Berdamai, sekaligus menghilangkan kecurigaan Arab Saudi terhadap Iran. Atas gangguan ‘proxy’ di halaman rumahnya (baca: Houty) dan Ekspor Revolusi, telah ditengahi oleh China di Beijing, Maret lalu. Hubungan Iran-Arab Saudi, kini telah cair.
Sementara Mesir, perlahan juga “mendingin” dengan AS. Faktor Israel yang menuduh senjata Hamas masuk lewat perbatasan Mesir, juga telah mempengaruhi hubungan AS-Mesir.
“Hatta”, seperti dikutip “South China Morning”, Mesir dikabarkan akan membeli jet tempur J-10C buatan China. Mesir, sepertinya sudah ingin mengurangi ketergantungannya pada Barat. Dalam hal teknologi militer.
Ini merupakan isyarat, makin meningkatnya pengaruh Beijing (China) di Timur Tengah. Menurut portal berita pertahanan Bulgarian Military, Kementerian Pertahanan Mesir telah memesan pertama jet tempur generasi 4,5 J-10C, Agustus lalu. Demikian dikutip “South China Morning”, tanpa ada tanggapan balik dari Pemerintah Mesir.
Meningkatnya peran China di Timur Tengah, diprediksi mampu mengubah regional ini. Menjadi Medan pertempuran lain, dalam persaingan pengaruh AS-China.
Pada akhirnya, hal ini sangat berpotensi membentuk kembali kontur kebijakan luar negeri AS terhadap Israel. AS sudah harus berani memberi hukuman terhadap pelanggaran-pelanggaran Israel, sekaligus memaksa Israel untuk berbagi “Tanah”, bersama bangsa Palestina. Dengan pola “Two State”.
Patokannya mudah saja. Kembali ke perbatasan sebelum perang 1967. Pengaruh AS di Timur Tengah bisa saja terdegradasi, bila terus membiarkan Israel seperti sekarang.
Konflik Timur Tengah saat ini, sangat mengganggu AS. Sebaliknya China akan memetik keuntungan dari sisi “negara bijak” yang bermoral tinggi. Yaitu dengan menyalahkan negara-negara pro-Israel.
Simpati negara Arab akan menguatkan pengaruh China menggantikan AS. * (Syam) – Foto: Istimewa