Penulis: Sabpri Piliang – Wartawan Senior
Jakarta, Media-profesi.com – Asal-usul kata linguistik “Yearning”, pernah dengar? Kira-kira secara sinonim, “yearning” mirip-mirip dengan “homesickness”, atau “longing”. Kerinduan.
Karena “yearning”, acap kali seseorang, atau ribuan penonton sepak bola di sebuah stadion menjadi menderita. “Sakit hati”, dan jenuh. Kalah lagi, kalah lagi.
Membayangkan ‘striker’ berhadapan dengan penjaga gawang, 99,9 persen gol. Tembakan melenceng. Pola permainan yang tak terencana, berlari ke sana-kemari. Tenaga terkuras. Letih sendiri. Sepuluh menit terakhir gawang pun bobol. Kalah, dan kalah adalah satu kekesalan abadi milik penonton.
“Yearning”. Ya, “yearning”, menemukan pijakan bagi pencinta sepak bola Indonesia saat ini. Kata-kata pelatih Timnas Indonesia Shin Tae Yong (STY), “akan tinggal selamanya di Indonesia. Bila Timnas Indonesia lolos ke Piala Dunia 2026”, menarik sekaligus mengharukan!
Semua itu bertumpu pada kata “yearning”. Kerinduan! Alangkah tidak pantasnya, negara terbesar ke-4 dari jumlah penduduk dunia (280 jutaan). Negara dengan jumlah “penggila” sepak bola terbanyak, lantas Timnasnya tidak memiliki gaung yang sepatutnya. Hanya kalah.
Jangankan ikut Piala Dunia. “Dreamly”. Di kawasan ASEAN, Timnas Indonesia sering diremehkan Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Ini sangat menyakitkan, berlangsung ber tahun-tahun, pasca era ke-emasan: Ronny Paslah, Sutjipto Suntoro, Iswadi Idris, Waskito, semasa 60-70-an. Timnas Indonesia pernah memiliki era ‘glowing’.
Kejenuhan akan kegagalan, ditambah muncul pengalaman sepak bola “Gajah” (dulu), membuat pengurus Federasi Sepak bola Indonesia (PSSI) saat ini, tergerak mencari nakhoda ‘expert’ untuk menancapkan kembali filosofi sepak bola modern.
Shin Tae Yong adalah pilihan utama. Meskipun saat itu ada satu nama ‘expert’ lain, Luis Mila (Spanyol). Pilihan kepada STY, tepat. Walau sesungguhnya Luis Mila bukan pelatih sembarangan. Pernah manangani Timnas Spanyol usia muda.
Gayung bersambut. “Yearning”! Kerinduan terhadap kebesaran sepak bola Indonesia di masa lalu, menemukan kuncinya. Shin Tae Yong, juga menghitung betul, mengapa pilihannya jatuh ke Indonesia. Meski dengan nilai kontrak tergolong kecil, untuk figur ‘coach’ sekaliber STY.
Sejatinya, mantan pelatih sepak bola Korea Selatan (2018) ini, di saat bersamaan mendapat tawaran “harga” premium. Nilai kontrak USD 3 juta (Rp 43 milyar) dari Klub liga teratas China, Shenzen FC. Tidak membuat STY takjub.
Sosok kalem ini, secara mengejutkan lebih memilih tawaran PSSI dengan harga USD 1 juta (Rp 14 milyar lebih) di tahun 2019, per tahun. Dengan durasi lima tahun hingga Juni 2024.
“Saya mungkin harus tinggal di Indonesia selama sisa hidup saya,”kata Shin Tae Yong saat wawancara dengan Media Korea Selatan, ISplus belum lama ini.
STY menyebutkan, hidup di Indonesia sangat luar biasa. “Mereka tidak memanggil nama pemain sebagaimana lazimnya. Mereka memanggil STY. Ini aneh dan mengagumkan,” tambah STY.
Timnas Indonesia, tentunya tak ingin terus-menerus jadi pecundang dalam kancah sepak bola, Asia dan dunia. Garrison Keillor, seorang pengarang dan humoris AS, mengingatkan dalam buku “Bitter Sweet” (Susan Cain).
“Belakangan, kata pecundang diucapkan dengan rasa “inferior”. Orang mungkin ingin melupakan kegagalan dalam satu fase. Namun, itulah yang mengajarkan kepada kita, tentang hal yang berkemajuan” di fase berikutnya.
Dalam sepak bola Indonesia sepanjang yang saya pahami dan ikuti. Saya hanya mengingat empat sosok: Tonny Pogacnick (Yugoslavia/Kroasia), Wiel Coerver (Belanda), Anatoly Polosin (Rusia), dan sekarang Shin Tae Yong (STY/Korea Selatan).
Tonny Pogacnick, kemudian menjadi WNI (naturalisasi pelatih). Pelatih bertangan dingin ini membawa Timnas Indonesia bermain draw dengan Uni Soviet di Olimpiade Melbourne (1956), lalu semifinalis Asian Games 1954 (Manila/Filipina), dan merebut medali perunggu (juara tiga) di Asian Games 1958 (Tokyo/Jepang).
Pogacnick yang terkesan dengan Indonesia (seperti Shin Tae Yong), membawa Timnas Indonesia berlatih di Uni Soviet, Jerman Timur, Yugoslavia, dan Ceko. Tak salah bila legenda Sepak bola Indonesia Kadir Yusuf menyebut, Tonny Pogacnick (meninggal dan dimakamkan di Bali) adalah “Bapak Sepak Bola Modern” Indonesia.
Pogacnick yang datang pertama kali ke Indonesia (1954), sebelumnya adalah pemain Timnas Senior Yugoslavia dan Kroasia. Pola permainan yang diterapkannya pun mirip-mirip Shin Tae Yong. Keduanya, bukanlah tipikal pelatih yang statis, dengan hanya menganut paham permainan tertentu. Ini membingungkan “musuh”.
Suksesi kepelatihan Indonesia berlanjut ke Wiel Coerver. Pelatih bertangan dingin ini, bersama asistennya Wim Hendrik, merekrut pemain-pemain baru dengan pusdiklatnya di Salatiga.
Di masanya, lahirlah nama-nama talenta muda: Suhatman (PSP) Padang, Hadi Ismanto (Persebaya), Andi Lala dan Sofyan Hadi (Persija), Yohanes Auri dan Eddy Sabenan (Persipura). Sayangnya di final perebutan satu tiket zona Asia ke Olimpiade Montreal 1976 (Kanada), Timnas Indonesia kalah adu penalti oleh Jin In-chol dkk (Korea Utara).
Satu lagi yang juga memiliki tipe pelatih ‘grade A’ adalah Anatoly Polosin (Uni Soviet). Melatih Timnas Indonesia (1989-1991) dengan sangat keras, berdisiplin tinggi. Sama dengan Shin Tae Yong. Disiplinnya tak ada kompromi.
Pelatih yang membawa Timnas Indonesia juara SEA GAMES 1991 (Manila/Filipina) ini, membuat sejumlah pemain TC (training center) mengundurkan diri. Kerasnya latihan, membuat mereka tidak sanggup.
Dengan keterbatasan jumlah pemain, tanpa bintang. Karena banyak yang mundur (menyerah tak kuat), Pelatih Kelahiran Tashkent (Uzbekistan) ini mengalahkan “Raja” ASEAN, Thailand lewat adu penalti (4-3) di final.
Fahri Hussaini, Ansyari Lubis, Eddy Harto, Sudirman, Ferrel Hattu, Ricky Yakobi, merasakan hasil positif dari gemblengannya.
Setelah itu, sepak bola Indonesia tenggelam. Jauh dan jatuh ke dasar jurang (rangking 176), sebelum kedatangan STY (sekarang 129).
STY yang ‘reputable’, dengan jejak mengalahkan Timnas Jerman yang dilatih Joachim Low ( 2-0 ), di “World Cup” (Rusia 2018), menjadi tumpuan. Tumpuan kerinduan (‘yearning), pada kebanggaan rakyat Indonesia, bagi Timnasnya.
Naturalisasi yang diterapkan pada pemain keturunan tidaklah salah. Shin, tentu telah membaca. Tak mungkin menjadikan pemain hebat dari kompetisi lokal yang terbatas. Terbatas dari kualitas, terbatas dari finansial.
Saya yakin, ‘Coach’ Shin berniat baik lewat naturalisasi. Saya yakin, inilah metode paling murah. Ketimbang ‘membeli’ pemain mahal sekelas Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, Mohammed Salah, untuk di cangkok dalam kompetisi lokal.
Perlahan bangkit. “Yearning”. Semua berharap pada STY. Langkah naturalisasi, adalah bagian dari rasa haus, dan “yearning” tadi. Bahkan, seandainya ‘coach’ Shin Tae Yong mau di naturalisasi, itu sudah “on The right track”.
Ahli psikologis klinis University of Nevada, Dr. Steven Hayes dalam sebuah artikel “Psychology Today” dengan judul “From Loss To Love” mengatakan. “Dalam kegagalan (kepedihan), Anda menemukan jalan (nilai-nilai) Anda.
Naturalisasi, adalah jalan itu. Naturalisasi adalah pintu masuk menuju Piala Dunia 2026 (AS, Kanada, Meksiko). Sumpah menjadi WNI bintang senilai Rp 121 milyar Mees Hilgers, dan Eliano Reijnders kemarin di Kedutaan Besar Indonesia (Brussel/Belgia). Makin terhubung dengan janji Pelatih STY untuk tinggal di Indonesia selamanya.
Naturalisasi Mees Hilgers dan Eliano Reijnders. Sepertinya akan diikuti naturalisasi terhadap sang idola pencinta sepak bola Indonesia (Shin Tae Yong).
Shin Tae Yong (STY) bisa saja menjawab ya, setelah Timnas Indonesia mengalahkan Bahrain (10 Oktober), dan China (15 Oktober). Kita tunggu saja. * (Syam/Pra) – Foto: Istimewa