Penulis: Sabpri Piliang – Wartawan Senior
Jakarta, Media-profesi.com – Saya lupa persisnya. Sebuah artikel dengan judul “Hilangnya Patron Palestina di Timur Tengah”, termuat di sebuah Harian “mainstream” nasional. Tiga dasawarsa lalu.
Tulisan saya tahun 1993, atau 1994 tersebut, makin menemukan “titik pijaknya”. Setelah ditandatanganinya kesepakatan damai “Abraham”, antara Israel dan sejumlah negara Arab: Uni Arab Emirate (UAE), berlanjut secara kolektif dengan Bahrain (2020).
Pembukaan hubungan diplomatik antara Israel dengan kedua negara Dewan Kerjasama Teluk (GCG) ini. Membuat eksistensi Palestina di negara-negara Liga Arab, termarjinalkan.
Klausul perdamaian, menjadikan kedua negara Teluk ini, tak leluasa lagi menyokong Kemerdekaan Palestina secara diplomasi, maupun bantuan logistik perang. Israel mengunci negara-negara Arab.
Bagi Israel, perdamaian dengan UAE dan Bahrain, makin menyempitkan isu Palestina di panggung Internasional, secara ‘lembut’. Patron Palestina pun, hilang satu per satu yang diawali dengan perdamaian antara Anwar Sadat (Mesir) dan Manachem Begin (Israel), tahun 1979. Gurun Sinai, jauh lebih penting, ketimbang Palestina.
Gurun Sinai (Sinai Dessert). Wilayah seluas 60.000 kilometer persegi yang direbut Israel dalam Perang enam hari 1967, dikembalikan kepada Mesir. Inilah, kehilangan pertama bangsa Palestina terhadap patron-nya di Timur Tengah. Kehilangan fundamental terhadap pintu masuk persenjataan.
Tak berhenti sampai di situ. Upaya Israel membenamkan isu kemerdekaan Palestina pun berlanjut. Berhasil dengan Mesir, Israel-Yordania menandatangani perjanjian perdamaian. Israel cerdik, memasukkan klausul keamanan bersama. Koridor perbatasan dijaga bersama oleh Israel dan Yordania.
Padahal, Koridor (jembatan) Allenby (Yordania), dan Koridor Philadelphia (Mesir) adalah dua pintu masuk untuk suplai logistik perjuangan pejuang Palestina. Baik Hamas, maupun faksi-faksi Palestina lainnya.
Jembatan Allenby, atau Jembatan Raja Hussein adalah satu-satunya akses keluar-masuk (perbatasan resmi) antara Yordania-Tepi Barat yang dianeksasi Israel. Orang-orang Palestina pun menggunakan jembatan ini, bila ingin ke luar negeri.
Raja Hussein dengan PM Yitzhak Rabin duduk semeja dengan Presiden AS Bill Clinton (1994). Menandatangani kesepakatan damai yang mempersulit Palestina. Palestina memprotes kesepakatan itu. Terlebih di dalamnya terdapat klausul untuk mengamankan perbatasan darat, antara Yordania dan Israel.
Hal ini jelas memperlambat alur perjuangan bangsa Palestina. Terlebih, hampir 60 persen rakyat Yordania merupakan keturunan Palestina. Perjuangan Palestina, dari sisi persenjataan juga sulit, karena sepanjang perbatasan kedua negara, akan dijaga ketat oleh Israel.
Meski begitu, celah perlawanan bangsa Palestina terlihat 8 September (dua pekan lalu) di Koridor (jembatan) Allenby. Seorang pria bersenjata Yordania, menembak tewas tiga warga sipil Israel di sini.
Jembatan Allenby yang berjarak 50 kilometer dari Ibukota Amman (Yordania), di susul Koridor Philadelphia (Mesir) menjadikan bangsa Palestina dikurung seperti berada di penjara besar.
Rasa frustrasi inilah yang kemudian melahirkan inovasi terowongan bawah tanah berbentuk labirin oleh pejuang Hamas. Serangan “Banjir Al Aqso” 7 Oktober 2023 ke wilayah pendudukan Israel, adalah sebentuk “protes” Bangsa Palestina, atas kesemena-menaan itu.
Ketika Hamas menyerang ke dalam wilayah Israel, sesungguhnya Israel tengah menyiapkan perdamaian dengan Arab Saudi. Setidaknya, inilah mimpi besar Israel untuk ‘meminggirkan’ isu Palestina secara evolusi, sekaligus pamungkas.
Dua bulan sebelum “Banjir Al Aqso” (7 Oktober 2023), Arab Saudi dan Amerika Serikat (AS), sempat menjalin komunikasi dengan otoritas Palestina. Tujuannya untuk mendapatkan pengaruh atas kesepakatan Arab Saudi-Israel yang tengah diupayakan.
Meski diajak berembug. Otoritas Palestina tetap memiliki kekhawatiran mendalam, andai kesepakatan damai Arab Saudi-Israel, benar-benar terlaksana. Apalagi, kesepakatan terdahulu (Israel-Mesir), Israel-Maroko, Israel- (UAE dan Bahrain), tidak menjadikan Israel bersungguh-sungguh ingin menyelesaikan konflik Timteng secara komprehensif.
Penyelesaian konflik Timteng yang komprehensif, adalah dengan kembalinya Israel ke perbatasan sebelum Perang enam hari 1967. Dimulai dengan penarikan Pasukan Israel dari Gaza dan Tepi Barat (West Bank).
Usulan dua negara di tanah yang sama, secara universal telah menjadi pemikiran banyak pihak, termasuk AS. Pada titik ini, Israel nampaknya bergeming dan menghindari pembicaraan itu.
Meski kesepakatan Israel-Palestina sesungguhnya telah dimulai 1993 (Oslo/Norwegia), namun terus mengalami stagnasi akut, bahkan cenderung akan ‘dilupakan’. Melepaskan Jerusalem Timur (Tepi Barat), yang di dalamnya terdapat Masjid Al Aqso, merupakan titik beku dan stagnasi itu.
Wajar Palestina cemas, bila perdamaian Arab Saudi-Israel sungguh-sungguh terlaksana. Sekiranya terwujud mendahului pembicaraan penyelesaian perbatasan sebelum 1967, Kemerdekaan Palestina makin “jauh panggang dari api”.
Israel pun bakal semakin bergeming (cuek) untuk membicarakan isu Palestina yang ‘lamat-lamat’ (sayup) menghilang. Titik pengaruh Palestina menjadi tidak lagi penting, karena Israel telah memperoleh tonggak kokoh pengakuan Liga Arab (22 anggota), lewat perdamaiannya dengan Arab Saudi.
Di balik ini semua, sesungguhnya ada kecemasan AS, bila perdamaian Arab-Saudi dan Israel urung terlaksana. Serangan Hamas bersandi “Banjir Al Aqso” telah menggagalkan rencana mengikat aliansi besar mengurung Iran beserta proxy-nya.
Hamas telah menunda rencana besar AS mengamankan Israel, lewat kesepakatan ‘maha-strategis’ dengan Arab Saudi. Meski terdengar tetap ada upaya ‘intermediate’ mendorong perdamaian Arab Saudi-Israel tahun 2024 ini. Nihil rasanya.
Arab Saudi tak ingin mengambil risiko, sebelum Israel secara serius memberi kepastian pembebasan untuk rakyat Palestina.
Tujuannya menjepit Iran, kini tentu semakin sulit bagi AS. Menggagalkan rencana inisiatip China mendekatkan Iran ke Arab Saudi, juga tidak mudah. Serangan Hamas 7 Oktober 2023, telah mengubah peta geopolitik Timur Tengah dan dunia.
Bandul opini terhadap kematian 41.000-an rakyat Palestina kian mendapat simpati dunia. Prospek perdamaian Israel-Arab Saudi, makin sulit diraih . Perang regional, pun segera menyeret Lebanon seperti 1975-1990. Siapakah yang bisa menjadi penengah yang disegani? Peran AS, tentu ditunggu dunia. * (Syam) – Foto: Istimewa